KASTA ? WARNA ?
Banyak Orang terpengaruh terhadap propaganda pandangan
orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu (Veda)
tidak ada kasta yang ada adalah warna
Stereotype yang terjadi di masyarakat Bali adalah, kasta yang dipanjang secara vertikal, dari atas ke bawah. Namun sesungguhnya, kasta itu seharusnya dipanjang secara horisontal, sejajar, sesuai dengan fungsi dan pilihan masing2 individu.
Kasta sendiri berasal dari bahasa portugis : caste, bukan dari bahasa India...yang artinya suku bangsa
Sementara itu warna sangat berbeda dengan kasta: Warna adalah penggolongan manusia karena pekerjaan/profesi.
Di dalam Veda disebutkan
tentang warna ini:
yaitu, Catur Warna:
1. Brahmana
2. Ksatria
3. Wesia
4. Sudra
Brahmana adalah orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan, intelektual
Ksatria adalah orang-orang yang bekerja/bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan
Wesia adalah orang-orang yang bergerak dibidang ekonomi
Sementara sudra adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, atau para pegawai yang bekerja dan di bayar sesuai tenaganya.
Dan penggolongan ini tidak diturunkan..Artinya kalau sang Ayah Brahmana, tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana...
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana. Tidak seperti sekarang, dimana negara kita dipimpin oleh manusia berotak dengkul yang bisanya cuman berbicara tanpa berani bertindak.
Apa yang terjadi di India dan di Bali adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda.Di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).
Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu : misalnya,
soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah
"pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng Tegeh Kori contoh lain artinya jaman dahulu
keluarga mereka dari kelompok "Arya"
(ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali).
Wangsa atau garis keturunan itu sesungguhnya begitu penting, karena dengan mengenal garis leluhur, kita akan mengenal siapa sesungguhnya diri kita, identitas kita, budaya kita.
Bahkan di dalam Alkitab, bukankah tertulis hal2 seperti, si "A", anak dari si "B", anak dari si "C" ...dst dst dst. Mengapa garis keturunan ditulis dalam Alkitab ? Karena garis keturunan merupakan sebuah "kekuatan", sebuah "identitas" jati diri keberadaan kita, asal muasal kita.
Contoh :
Nama lengkap ane : I. Putu Gerhana Suarya Putra. Secara nama, ane berasal dari keturunan Sudra, atau golongan yang konon dipandang paling rendah. Namun profesi ane adalah Real Estate Investor, yang berhubungan langsung dengan ekonomi suatu daerah. Apakah gelar ane berubah ? Tidak. Apakah ane tetap menjadi seorang Sudra ? TIDAK. Ane sekarang adalah seorang dari golongan atau ber"warna" Wesia. Orang tua ane adalah pensiunan Perpajakan. Berarti beliau adalah seorang Sudra, atau dibayar berdasarkan kerja atau tenaganya.
Mohon di perhatikan, ane seharusnya bergelar seperti GUSTI atau hal2 seperti itu. Ane seharusnya bergelar Shri, atau ARYA, namun karena dulu kakek buyut ane MENOLAK untuk menjadi antek2 Belanda, maka mereka diasingkan, disingkirkan, hendak dibunuh, dan terpaksa hidup dalam kemiskinan yang luar biasa. Ane yang seharusnya bergelar "ARYA", namun pada suatu masa di tahun 1500 M, ketika terjadi perebutan kekuasaan internal oleh keluarga, leluhur ane bersumpah sampai kapanpun termasuk keturunan mereka untuk TIDAK menggunakan lagi gelar bangsawan, dan sampai hari ini sumpah itu teguh dipegang dan ada prasastinya.
Dengan ane mengenal garis leluhur ane, akhirnya ane bisa paham dengan karakter mereka, sejarah mereka, identitas mereka, dan ane BANGGA dengan keteguhan dan kegigihan mereka dalam memperjuangkan saat ikut dalam perang melawan penjajah. Mereka adalah orang2 yang dipandang "hina" dalam kasta masyarakat Bali ketika itu, namun memiliki jiwa seorang ksatria yang tidak bisa dibantah.
Meskipun nama ane adalah nama yang konon dipandang sebagai kasta "hina", secara keturunan, ane adalah keturunan langsung dari Shri Khrisna Kepakisan ( memerintah di tahun 1350 M, karena pada masa itu gelar GUSTI masih belum ada).
Dan juga masyarakat di Bali sendiri juga masih banyak yang TIDAK memahami konsep wangsa, warna atau kasta yang akhirnya berujung pada pemisahan, penggolongan, dimana banyak yang mengaku sebagai keturunan bangsawan atau "Gusti" yang tidak boleh menikah dengan keturunan Sudra atau "Putu, Made, dsb2".
Sesungguhnya, jika kita menggali sejarah penjajahan Belanda di masa lalu, dengan metode devide et impera atau pemecah belah, maka sesungguhnya di Bali, gelar "Gusti, Cok, Cokorda, atau gelar2 bangsawan, sesungguhnya adalah GELAR PEMBERIAN BELANDA sebagai cara untuk menciptakan perpecahan, sebagai cara untuk menguasai dan menciptakan superioritas kaum bangsawan terhadap kaum bawah.
Dan, celakanya, metode ini sangat ampuh, bahkan sampai hari ini, mereka yang tidak lagi berprofesi atau mengurus pemerintahan, yang masih bergelar "GUSTI" atau gelar bangsawan pemberian Belanda, masih memandang diri mereka sebagai kaum superior, dan memandang rendah para Sudra.
Mohon untuk tidak salah paham. Di era informasi yang sangat berkembang sekarang ini, di jaman teknologi yang luar biasa maju, tidak semua GUSTI atau mereka yang bergelar bangsawan memiliki cara pandang yang kuno dan picik seperti ini.
Trit ini TIDAK bertujuan untuk memojokkan golongan tertentu pada "warna" masyarakat Bali. Namun ane harus menunjukkan ketidaksetujuan terhadap cara pandang yang masih picik terhadap penggunaan gelar bangsawan pemberian Belanda.
Sumber : EO Community
No comments:
Post a Comment
Your Comment Here... Use It Wisely No Abuse