Pada sebuah Minggu sore, saya berkesempatan menginjakkan kaki di Harajuku, Tokyo. Dari stasiun pemberhentian kereta JR saya menyeberang jalan dan sampai di Takeshi Dori, jalan yang menjadi ciri khas tempat anak muda Jepang mengekspresikan diri ini.
Tujuan pertama adalah gerbang Harajuku. Sepanjang jalan menuju gerbang, puluhan remaja Tokyo tampil dengan berbagai gaya dandanan (biasa disebut “cosplay”, singkatan dari costume play), mulai dari gothic hingga anime. Yang unik, banyak juga turis sengaja berdandan gothic dan ikutan tampil sepanjang jalan. Seandainya, saya percaya diri seperti mereka!
Tujuan pertama adalah gerbang Harajuku. Sepanjang jalan menuju gerbang, puluhan remaja Tokyo tampil dengan berbagai gaya dandanan (biasa disebut “cosplay”, singkatan dari costume play), mulai dari gothic hingga anime. Yang unik, banyak juga turis sengaja berdandan gothic dan ikutan tampil sepanjang jalan. Seandainya, saya percaya diri seperti mereka!
Ada juga yang ngamen, lengkap dengan drum dan gitar elektrik dan juga penyedia jasa kaligrafi Jepang dengan berbagai model tulisan kanji yang digelar di tengah jalan. Yang terakhir ini, sepintas seperti jajaran tukang tato jalanan di daerah Melawai-Blok M Jakarta.
Gerbang Harajuku merupakan titik awal jalan setapak menuju Meiji Jingu, kuil yang menjadi saksi sejarah periode Meiji. Daerah Harajuku memang merupakan perkawinan tradisional dan modern. Di sebelah kiri, di daerah Yoyogi menampilkan unsur tradisional, sementara di sisi kanan, Harajuku modern, mulai dari bangunan dan gaya hidupnya (makanan, kostum, butik, dan pengunjungnya)
Sepanjang jalan menuju kuil, kita bisa melihat jajaran drum anggur yang dulunya adalah lokasi tempat penyimpanan anggur milik kaisar. Masuk ke dalam jalan setapak yang ada di kiri jalan, kita akan digiring menuju taman Yoyogi yang asri. Puas menikmati hijaunya taman, kita melanjutkan ke kuil Meiji. Di kuil ini, kita bisa menyampaikan keinginan kita di papan kayu (dijual seharga 500 yen). Papan kayu ini kemudian digantung di satu papan besar yang ada di halaman kuil.
Saya balik ke stasiun Harajuku untuk merasakan kepadatan jalan Takeshi, yang merupakan daya tarik Harajuku. Harus diakui kepadatan orang yang lewat di jalan ini di Minggu sore memang tidak kalah dengan kerumunan di PRJ Kemayoran. Sambil berdesak-desakan, saya melihat baju dan aksesori yang dijual di sepanjang jalan.
Dari kejauhan, di salah satu jalan kecil menuju kawasan butik mewah Omotesando, saya melihat antrean panjang orang membeli takoyaki! Pilihan takoyaki di daftar menu agak membuat saya kagok, tapi akhirnya saya mencoba takoyaki dengan saus mentaiko.
Sambil menyantap takoyaki, saya menyusuri Omotesando, daerah yang sering disebut Champs-Elysees-nya Tokyo. Di belakang toko mewah, terlihat beberapa gedung menjulang yang merupakan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal banyak selebritas Jepang. Konon salah satu gedung tinggi itu adalah tempat tinggal penyanyi wanita Jepang terkenal, Ayumi Hamasaki.
Sedangkan menengok ke dalam toko-toko di sepanjang jalan ini memang membuat mata segar. Tetapi jelas membuat kantong menjerit kalau nekat berbelanja di sini. Ketika masuk toko Nike, misalnya. Seperti model-model sepatu yang dijual model terbatas.
Saya sempat melihat sepatu olahraga motif batik, yang kabarnya hanya diproduksi sekitar tiga ratus pasang. Di Indonesia saja tidak ada, eh, malah dijual di Jepang. Saya tidak berani mencari tahu harganya. Takut tidak siap mental.
Dari kejauhan, di salah satu jalan kecil menuju kawasan butik mewah Omotesando, saya melihat antrean panjang orang membeli takoyaki! Pilihan takoyaki di daftar menu agak membuat saya kagok, tapi akhirnya saya mencoba takoyaki dengan saus mentaiko.
Sambil menyantap takoyaki, saya menyusuri Omotesando, daerah yang sering disebut Champs-Elysees-nya Tokyo. Di belakang toko mewah, terlihat beberapa gedung menjulang yang merupakan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal banyak selebritas Jepang. Konon salah satu gedung tinggi itu adalah tempat tinggal penyanyi wanita Jepang terkenal, Ayumi Hamasaki.
Sedangkan menengok ke dalam toko-toko di sepanjang jalan ini memang membuat mata segar. Tetapi jelas membuat kantong menjerit kalau nekat berbelanja di sini. Ketika masuk toko Nike, misalnya. Seperti model-model sepatu yang dijual model terbatas.
Saya sempat melihat sepatu olahraga motif batik, yang kabarnya hanya diproduksi sekitar tiga ratus pasang. Di Indonesia saja tidak ada, eh, malah dijual di Jepang. Saya tidak berani mencari tahu harganya. Takut tidak siap mental.
No comments:
Post a Comment
Your Comment Here... Use It Wisely No Abuse